Perempuan-perempuan di Kelam Malam



Rangkaian kereta listrik sore melintasi jalur yang tak jauh dari sebuah stasiun di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, membuat gubuk-gubuk kecil beratap terpal biru di sisi kanan-kirinya bergetar dan burung-burung gereja yang semula hinggap di pagar pembatas beterbangan.

Namun, laju kendaraan beroda besi itu tak membuat anak-anak menghentikan permainan. Beberapa perempuan dan laki-laki dewasa yang duduk di bangku-bangku kayu sambil mengobrol juga tak menghentikan pembicaraan, bahkan dari balik tirai sebuah gubuk berdinding tripleks seorang anak tampak tertidur pulas di sebuah dipan kayu.

Bau busuk yang meruap dari tumpukan sampah dan onggokan tinja di sela rel saat angin sedikit kencang berembus juga tak mengusik para pemukim yang sepertinya sedang menikmati jeda dengan bermalas-malasan.



Permukiman itu baru benar-benar "bergerak" setelah kereta terakhir melintas pada pukul 18.20 WIB. Hampir serempak orang-orang berjalan menuju ke tengah jalur kereta. Sejumlah pria mengusung meja dan kursi-kursi kayu yang semula bertumpuk di antara gubuk, beberapa orang membangun tenda-tenda dari terpal biru dan oranye, ada pula yang membangun ruang-ruang kecil dari lembaran tripleks.

Para perempuan bergerak ke arah sama, sebagian dengan menggendong bakul berisi aneka dagangan dan langsung menatanya di atas meja kayu yang telah disiapkan di tengah jalur. Ada minuman ringan, macam-macam kudapan terbungkus plastik, dan beberapa botol arak dari beras.

Di salah satu kios, seorang laki-laki tua, setelah membersihkan kaca lampu petromak dan memasangnya, lantas membuka sebuah koper hitam dan kotak plastik. Isinya ratusan atau mungkin lebih dari seribu kemasan aneka jenis tisu basah, kondom dan obat-obatan.

Laki-laki tua itu kemudian mengaitkan kemasan-kemasan kecil tisu, kondom, dan macam-macam obat pada tali yang dipasang di dinding kios.

Deretan beragam obat kuat, pil kontrasepsi, obat antiinflamasi, serta jenis-jenis antibiotik, seperti Ampicilin, Amoxicilin, Thiamphenicol, dan Penbritin, itu membentuk deretan rapi.

Ketika gelap turun dan separuh barang dagangan lelaki tua itu telah tertata, puluhan laki-laki dan perempuan sudah meramaikan kawasan jalur kereta.

Semakin malam, semakin banyak orang yang datang meski tak ada acara rapat, unjuk rasa, pasar malam, atau pertunjukkan dangdut.

Orang-orang hanya terlihat duduk bergerombol di antara rel, mengerumuni pedagang, atau berbincang-bincang di dalam tenda-tenda terpal berpenerangan minim yang memutar lagu dangdut.

"Jangan salah, di sini mereka bukan hanya duduk-duduk, tetapi saling menaksir dan melakukan negosiasi harga, melakukan transaksi seks," kata pegiat AIDS, Baby Jim Aditya.

Di antara laki-laki dan perempuan beragam usia yang berkerumun di jalur kereta itu ada N, seorang perempuan penjaja seks yang usianya kini 40 tahun.

Perempuan asal Subang yang mengaku telah empat kali menikah dan punya empat anak itu bekerja di kawasan jalur kereta api sejak tahun 2000.

"Tadi, sih, berangkat pakai jaket dan celana panjang, sampai sini langsung dibuka. Memang harus seperti ini, namanya juga kerja beginian," kata perempuan berambut lurus itu.

N, yang mengenakan celana hitam selutut dan kaus merah muda tanpa lengan berkerah rendah, berbincang sambil bersedekap, berusaha menahan dingin udara malam yang sedikit basah.

"Syukur anak-anak sekarang sudah besar. Yang pertama sudah menikah, dua masih STM, seorang lagi kuliah di akademi kebidanan," katanya bangga.

N biasa datang ke kawasan jalur kereta selepas magrib dan baru pulang pada dini hari. N mengaku mendapat cukup banyak penghasilan dari pekerjaannya. Setiap melayani tamu dia dibayar antara Rp70.000 dan Rp100.000. Setiap hari hampir selalu ada tamu yang menggunakan jasanya.

Dia sebenarnya merasa hina dan kotor melakukan pekerjaan ini. Ia beberapa kali pernah mencoba pekerjaan lain, tetapi tak bertahan lama.

"Pernah kerja di salon, tetapi dapatnya cuma sedikit, tidak cukup untuk hidup di sini," katanya. Ia pun kemudian kembali bekerja di jalur kereta.

N akan mengais rupiah di sana sampai semua anaknya menyelesaikan sekolah dan memiliki cukup banyak uang untuk menikmati masa tua sambil "menyucikan" diri di kampung halaman.

N tahu pekerjaannya bukan tanpa risiko. Dia sadar penyakit kelamin bisa kapan saja menyerang. Dia juga takut suatu saat penyakit itu melumpuhkan kekuatan tubuhnya.

"Makanya, tiap bulan selalu ke dokter. Mahal, sih, sekali periksa bisa keluar biaya Rp 200.000. Namun, tidak apa-apa, daripada kena penyakit macam-macam," kata dia.

Dia juga selalu menyiapkan beberapa kondom bagi para tamu meski pada akhirnya keputusan untuk menggunakan pengaman ada di tangan tamu dan kebanyakan tamu memilih tak menggunakannya dengan macam-macam alasan.

Selain itu, N berusaha menangkal penyakit dengan mengonsumsi antibiotik tiap hari. Ia tidak tahu penggunaan obat antibiotik yang tidak sesuai indikasi dan aturan akan merusak hati.

Sisi gelap lain di sisi lain kawasan Jakarta Utara, sebuah kolong jembatan yang pada siang hari hanya dihuni seorang perempuan tua dan tumpukan jala nelayan berwarna kehitaman menjadi saksi kegiatan prostitusi tersembunyi.

Pada malam hari puluhan perempuan mendatangi kolong jembatan di wilayah Cilincing itu untuk menawarkan jasa seks, salah satunya adalah Y (34), perempuan asal Painan.

Setiap malam menjelang, suami Y, seorang nelayan yang beberapa bulan terakhir menganggur karena laut sedang tidak ramah, mengantar dia ke kolong jembatan untuk menjual jasa seks kepada pria-pria iseng.

Dalam kegelapan kolong, perempuan beranak dua itu bergabung dengan kerumunan laki-laki tua-muda serta perempuan-perempuan lain yang sebagian besar mengenakan celana pendek dan kaus ketat.

Temaram lampu minyak penjual kudapan dan udara malam yang mengaduk bau amis jala, amonia, serta macam-macam keringat dan parfum menemani para perempuan menebar pesona, berusaha menarik perhatian para calon penyewa tubuh.

Perempuan itu duduk di antara jala atau lantai beralas tikar bersama para lelaki, sepertinya mengobrol. Setelah beberapa saat, seorang laki-laki dan perempuan berdiri lantas berjalan ke arah antrean pasangan di depan sebuah tenda terpal yang tampaknya menjadi tempat pemberian layanan.

Y, yang tiba di kolong sekitar pukul 22.00 WIB, mengaku sudah melayani dua tamu pada pukul 02.00 WIB. Ia hanya hanya mendapat uang Rp 50.000 dari dua tamu dan Rp 10.000 di antaranya harus dibayarkan kepada pemilik persewaan tenda.

"Biasanya satu tamu Rp 30.000 sampai Rp 35.000. Ini lagi sepi, pada enggak ada duit, jadi tawaran segitu terpaksa diambil juga daripada enggak dapat duit," kata dia.

Saat sang suami menganggur, Y harus mendapatkan uang untuk membayar sewa kamar kos Rp 250.000 per bulan serta biaya lain untuk bertahan hidup.

"Kalau tidak, bagaimana kami mau makan dan bayar sewa kamar," katanya.

Tidak seperti N, perempuan yang sejak dua tahun lalu menjadi penjual jasa seks di kolong jembatan dan belum berniat mencoba pekerjaan lain itu tidak terlalu menghiraukan penyakit menular seksual.

Dia mengaku tak pernah sakit. "Paling cuma gatal-gatal," katanya.

Dia tidak pernah menyiapkan kondom, bahkan tidak mau tamunya menggunakan kondom dengan alasan "tidak enak".

Hanya sesekali, saat merasa kesehatannya terganggu, Y mengonsumsi antibiotik atau menggunakan bahan lain yang dia pikir bisa membunuh kuman dan menghilangkan gangguan.

"Selama ini tidak pernah sakit, sih, soalnya tiap hari pulang dari sini selalu dibersihkan pakai odol supaya kuman-kuman pada mati. Kalau gatal-gatal, biasanya minum Amoxicilin atau Supertetra langsung sembuh," katanya.

Beberapa meter dari kolong jembatan gelap tempat Y bekerja, kafe-kafe dan tempat karaoke berhias gemerlap lampu aneka warna berdiri berderet, memutar bermacam lagu dangdut dengan volume tinggi memekakkan telinga secara bersamaan.

Perempuan-perempuan dengan riasan muka, yang kebanyakan mengenakan celana sepanjang satu setengah jengkal dan kaus tanpa lengan, duduk di kursi-kursi plastik di depan kafe dan tempat karaoke; beradu daya tarik demi mendapatkan uang dari pria-pria hidung belang pencari jasa seks.

"Lihat betapa muda-mudanya mereka," kata Baby saat melewati deretan bangunan yang pada siang hari hanya tampak seperti rumah-rumah papan kecil di antara permukiman nelayan yang padat dan kumuh, dengan tali penuh jemuran baju setengah kering di antaranya.

Pemandangan serupa terlihat di sebuah perkampungan yang ada di bagian lain wilayah Cilincing, tak jauh dari perairan berwarna kelam penuh sampah tempat nelayan mengistirahatkan perahu.

Di sana, sekitar 100 bangunan kafe dan tempat karaoke dengan gemerlap lampu warna-warni berdiri di antara rumah penduduk yang ada di dua kompleks rukun tetangga.

Sabtu malam, pukul 24.00 WIB, beberapa anak masih berlarian di gang kecil yang memisahkan dua deretan kafe dan tempat karaoke.

Macam-macam lagu dangdut yang diputar bersamaan dengan sangat kencang hingga menyakitkan telinga manusia membuat suasana riuh, menenggelamkan alunan merdu suara penyanyi dangdut Caca Handika yang mendendangkan lagu cinta.

Namun, keriuhan itu tak mengurangi aura muram yang mulai menyelimuti perkampungan itu saat rintik hujan turun dan kemudian menjadi deras.

Di teras sebuah tempat karaoke, beberapa perempuan muda berpakaian minim berusaha menikmati malam yang suram dengan berjoget diiringi riuh lagu dangdut sambil bersendau gurau.

Beberapa laki-laki bergabung, yang lain hanya duduk menyaksikan dari dalam ruangan dengan lampu-lampu temaram.

"Semua orang sudah tahu kalau ini tempat begituan, saya sering disuruh antar tamu dari pelabuhan ke sini," kata Sony, seorang tukang ojek yang mangkal di salah satu sudut Kota Jakarta Utara.



Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

 

Copyright © 2010 • Se Ha Ti • Design by Dzignine